Jumat, 01 November 2013

Resume buku



Belajar dari Grameen Bank
( Belajar pemberdayaan masyarakat miskin)

Selayaknya Grameen Bank atau Bank kaum miskin dapat dijadikan sebagai pembelajaran dalam memerangi kemiskinan oleh pihak akademis. Tidak lain Muhammad yunus yang merupakan dekan fakultas ekonomi Chittagong University di Bangladesh. Yang mampu memberikan perubahan sosial bagi kaum miskin untuk mampu berwirausaha sosial secara mandiri. Terutama dalam memberikan kesetaraan gender didalam kungkungan budaya purda waktu itu. Pertimbangan lain, karena kaum perempuan lebih mementingkan kondisi keluarga dan anak-anaknya ketimbang kaum laki-laki yang hanya mementingkan diri pribadi.
Sebelum munculnya Grameen Bank banyak hal dan kerja sosial yang dilakukan dalam memerangi kemiskinan terutama persoalan sosial. Katakanlah Pertanian Tiga Pihak yang muncul karena tidak produktifnya lahan pertanian pada musim kemarau dan sumur bor yang tidak difungsikan. Perjanjian dilakukan dengan tiga pihak yaitu; pemilik lahan, petani dan Yunus sebagai pemberi kelengkapan dan bibit.
Program ini disetujui bersama komunitas dalam memanfaatkan lahan pertanian dengan hasil pertanian yang cocok pada musim kemarau. Program ini berhasil namun muncul beberapa kekurangan dan kelemahan dalam program pertanian tiga pihak. Diantaranya pembagian hasil yang didapat tidak sesuai dengan perjanjian, hasil pertanian tidak terbuka, dan Yunus lebih banyak menderita kerugian karena mendapat pembagian hasil yang tidak sesuai perjanjian.
Setelah kegagalan dalam program ini, Yunus kemudian kembali mengkaji masyarakat miskin lebih dalam dan mendefinisikan lebih lanjut tingkatan kaum miskin. Melihat realitas dan membaur untuk mendapat kenyataan paling dalam didalam komunitas. Maka Yunus, mencoba memahami masalah dari sudut pandang pihak yang mengalami masalah. Yunus kembali mengidentifikasikan masalah kemiskinan di Jobra. Mempelajari kemiskinan dan menemukan pentingnya perbedaan antara mereka yang benar-benar miskin dengan petani marjinal. Bahkan separuh dari jumlah penduduk jauh lebih miskin ketimbang petani marjinal. Yunus kembali mendefinisikan dan menggolongkan kaum miskin menjadi tiga kategori. Maka ditemuinya kelompok masyarakat paling miskin dan tidak mempunyai penghasilan bahkan tidak mempunyai aset tertentu selain dirinya sendiri.
            Setelah itu, maka Yunus kembali melihat realitas sosial dalam masyarakat miskin di desa Jobra. Banyak hal yang ditemui Yunus dan mahasiswanya, diantaranya pekerjaan yang didasari dari keahlian anyaman. Namun tidak mempunyai modal dan aset dalam mengembangkan keahliannya. Bahan baku yang didapat dari seorang rentenir yang kemudian harus dijual hanya pada rentenir dengan harga yang telah ditentukan. Hasil karya tidak sebanding dengan karya yang dihasilkan. Keperluan terpenting ialah pinjaman/modal yng digunakan untuk membeli bahan baku untuk terus mampu memproduksi anyaman bangku bambu. Perlunya pinjaman untuk mampu keluar dari belenggu rentenir dan mampu menjual hasil karya sesuai kualitas dan harga pasar.
Penyelesaian dengan memberikan pinjaman dengan tanpa bunga pada kaum miskin yang terbelenggu rentenir, dan kaum miskin yang memiliki ketrampilan dan keahlian tapi tidak mampu memulai kewirausahaan sosial. Skala pertama yang dijalankan tidak terlalu muluk dan tergesa-gesa. Dicoba pertama kali dengan tahap skala kecil di desa Jobra. Keberhasilan pada tahap pertama di desa Jobra lantas tidak mengeneralisasikan gagasan dan hasil belajar dalam setiap konteks. Namun dicoba kembali dalam desa yang berbeda namun memiliki konteks yang berbeda pula.
            Setelah mempunyai hasil kesamaan dalam setiap konteks yang berbeda, Yunus kemudian menyebarluaskan dalam skala nasional.  Kemudian menyebarluaskan ke negara dunia ketiga dan ke beberapa negara yang perekonomiannya sama dengan Bangladesh. Kemudian digerakkan ke negara-negara di Eropa dan negara kaya yang mempunyai keadaan perekonomian serta kondisi masyarakat yang berbeda jauh.
            Yunus memprioritaskan pinjaman kepada kaum perempuan, karena kedudukan sosial kaum miskin perempuan di Bangladesh yang paling rawan. Jika ada anggota keluarga yang `
harus mengalami kelaparan maka hukum tak tertulis mengatakan ibulah yang pertama kali akan memgalaminya. Bagi Yunus kaum perempuan terbukti lebih cepat menyesuaikan diri dan mampu berusaha lebih baik dalam proses membangun kemandirian ketimbang kaum laki-laki. Perempuan miskin jauh memandang kedepan dan bekerja keras untuk membebaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan. Tujuan utama hanyalah menyiapkan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya dan keadaan rumah tangganya. Sedangkan laki-laki mempunyai tujuan yang sangat berbeda, dimana lebih mementingkan dirinya sendiri. Jika meeningkatkan kesejahteraan perempuan berarti menyelamatkan generasi.
            Yunus hanya memberikan kail untuk memberikan dorongan keatas agar kaum miskin khususnya perempuan, agar bangkit melawan ketertindasan mereka oleh rentenir dan budaya. Masyarakat miskin yang mempuyai keahlian tertentu, namun terbelenggu oleh rentenir karena mendapat pinjaman dari Grameen Bank yang memberikan suku pengembalian dengan sangat kecil. Hal ini memberikan peluang bagi masyarakat miskin untuk mampu menyisihkan laba dari usaha untuk keperluan memperbaiki rumah dan menyekolahkan anak-anak mereka. Peluang inilah yang tidak dimiliki mereka sewaktu terbelenggu dengan rentenir. Karena laba mereka hanya digunakan untuk tambal menyulam, karena bunga dan hasil kerajinan yang harus dijual dipihak rentenir dengan sangat murah.
            Banyak peluang dan keharusan bagi nasabah Grameen Bank untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan memiliki rumah dengan kepemilikan pribadi. Memperbesar usaha, memiliki tabungan, mendapat fasilitas pendampingan. Hal-hal inilah yang memberikan peluang bagi kaum miskin untuk terus berkembang dan memperbaiki perekonomian keluarga. Ternyata didapat hal yang sering dianggap sepele ialah mayoritas nasabah Grameen Bank ialah kaum perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan lebih bertanggung jawab terhadap keluarga dan anak-anaknya dari pada kaum lelaki.
            Kepercayaan terhadap kaum miskin merupakan modal utama dalam mendirikan Grameen Bank. Tercatat hingga kini prosentase pengembalian setidaknya cukup tinggi hingga 97,6 %. Hal yang  jarang ditemui pada bank konvensional pada umumnya yang hanya tinggi dalam memberikan kredit, namun tingkat suku pengembalian yang sangat rendah. Didapat kenyataan bahwa kaum miskin dapat dipercaya jika kepercayaan kepada mereka juga ada. Hanya kesenjangan yang menjadikan perbedaan dalam peluang sosial dengan kaum borjuis.
            Kaum miskin perempuan memiliki banyak peluang dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Pengembangan yang dilakukan kaum miskin menyentuh secara multidimensional. Bermula dari hal kecil, namun akhirnya secara bertahap mampu membuat perubahan sosial secara luas.

RESUME 5 ARTIKEL


RESUME

Pendidikan Populer
            Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdikusi, mampu menerima dan menolak. Pembelajaran bersifat dialog yang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab-akibat.

Komunikasi
            Awal memasuki sebuah komunitas adalah dengan bagaimana membuat komunitas / masyarakat merasa kita datang kepada mereka dalam cara komunikasi yang benar-benar wajar dan alamiah. Bukan dengan sesuatu yang direkayasa sebelumnya dalam cara-cara yang sangat kaku, atau terkesan mengada-ada. Berbaur dengan komunitas merupakan salah satu bentuk komunikasi.

Kefasilitatoran
Fasilitator merupakan faktor eksternal yang hanya mengintervensi untuk terjadinya perubahan sosial. Karena fasilitator tidak dapat dikatakan mengembangkan suatu komunitas, karena komunitas itu berkembang dengan sendirinya. Yang harus dilakukan fasilitator adalah menjadi pencetus dan pendorong untuk proses sosial tersebut.

Power Empowerment
            Salah satu kunci keberhasilan proses pengembangan ialah mengantar mereka sampai akhirnya mereka dapat memiliki suatu pandangan dan pemahaman bersama mengenai keadaan dan masalah yang mereka hadapi. Kesadaran dibangun untuk diterjunkan melalui tindakan perubahan sosial. Salah satu jaminan kesinambungan proses power empowerment ialah jaminan sumber penghidupan yang layak dan tetap bagi komunitasnya sendiri untuk menghidupi diri dan keluarga. Mampu bangkit dari keterbelengguan dengan mengenal potensi dan sumber hayati di sekitar mereka.

Kepemimpinan
            Peran fasilitator bukanlah pemimpin, hanyalah faktor pendorong terjadinya perubahan sosial. Komunitas sendirilah yang menentukan local leader mereka sendiri, pemimpin komunitas mengabdikan diri untuk komunitas tanpa kepentingan pribadi dan kelayakan diri. Semua dilakukan atas dasar kepentingan bersama, dan bergerak bersama komunitas untuk lepas dari persoalan sosial.

Kesimpulan dari 5 paragraf diatas :
Sikap, ucapan dan tindakan merupakan modal awal dalam berkomunikasi untuk terjun dan membaur dengan komunitas. Fasilitator hanyalah faktor eksternal dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Mengawali dengan mengenal setiap potensi manusia dan hayati sebagai modal awal dalam memulai power empowerment, berdaya dengan potensi yang dimiliki sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi. Kepemimpinan (Local leader) akan tercipta secara alamiah dari dalam komunitas sendiri yang merelakan sebagaian besar waktu untuk komunitas tanpa kepentingan pribadi. Proses berkelanjutan ditandai dengan terciptanya kesadaran kritids transitif dalam komunitas secara alami, muncul pemahaman kritis dalam masyarakat untuk terus belajar dari setiap keadaan ketertindasan. Maka akan memunculkan Pendidikan Populer didalam komunitas.


Jika setiap Komponen dipisah akan seperti ini..
·         Sikap, ucapan dan tindakan merupakan modal awal dalam berkomunikasi untuk terjun dan membaur dengan komunitas.
·         Fasilitator hanyalah faktor eksternal dalam mendorong terjadinya perubahan sosial.
·         Mengawali dengan mengenal setiap potensi manusia dan hayati sebagai modal awal dalam memulai power empowerment, berdaya dengan potensi yang dimiliki sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi.
·         Kepemimpinan (Local leader) akan tercipta secara alamiah dari dalam komunitas sendiri yang merelakan sebagaian besar waktu untuk komunitas tanpa kepentingan pribadi.
·         Proses berkelanjutan ditandai dengan terciptanya kesadaran kritids transitif dalam komunitas secara alami, muncul pemahaman kritis dalam masyarakat untuk terus belajar dari setiap keadaan ketertindasan. Maka akan memunculkan Pendidikan Populer didalam komunitas.

Pendampingan Masyarakat


Pendampingan Masyarakat

PENGERTIAN PENDAMPINGAN
Mengapa istilah „pendampingan‟ muncul dalam kosakata pengembangan masyarakat?  Barangkali pertanyaan ini perlu kita lontarkan untuk mengingat kembali bagaimana proses kemunculan istilah ini merupakan kritik terhadap cara kerja para petugas penyuluhan (extension worker) yang semata-mata hanya melakukan kegiatan penyampaian informasi dan teknologi kepada masyarakat.  Dari kritik terhadap penyuluhan konvensional seperti ini berkembang istilah petugas penyuluh lapangan/PPL (extension field worker) dengan maksud untuk memberi arti yang lebih luas dari sekedar penyuluhan, tetapi juga diserta pendampingan sosial (misalnya: pendampingan dan pembentukan organisasi seperti kelompok tani). Istilah petugas penyuluh lapangan/PPL saat ini digunakan pemerintah untuk petugas yang bekerja sebagai penyuluhan pertanian. Pada prakteknya, PPL pemerintah ini hanya melakukan kegiatan penyuluhan saja.
Sementara, di kalangan LSM lebih berkembang penggunaan istilah petugas lapangan/PL (field worker) yang tugasnya jauh lebih luas dari hanya sekedar melakukan penyuluhan teknis saja.  Sejalan dengan perkembangan wacana mengenai metodologipendekatan program, istilah petugas lapangan (PL) juga menjadi lebih bervariasi. PL seringkali disebut sebagai pendamping masyarakat atau petugas yang menjalankan sejumlah pekerjaan pengembangan masyarakat.  PL juga seringkali disebut fasilitator masyarakat (community facilitator/CF) karena tugasnya lebih sebagai pendorong, penggerak, katalisator, motivator masyarakat, sementara pelaku dan pengelola kegiatan adalah masyarakat sendiri.
Pendampingan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh PL atau fasilitator atau pendamping masyarakat dalam berbagai kegiatan program. Pada prakteknya, di kalangan LSM CD, pendampingan lebih banyak ditujukan untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin meskipun disertai penguatan organisasi dan kepemimpinan lokal. Sedangkan di LSM CO, pendampingan lebih banyak ditujukan untuk advokasi dan melakukan „perlawanan‟ masyarakat terhadap isu-isu konflik (penggusuran tanah, pelanggaran HAM, pertambangan, lingkungan, dsb.) yang ditujukan kepada pemerintah, industri/swasta, atau kekuatan yang dianggap sebagai „musuh‟ rakyat.  Sebenarnya, perbedaan pendampingan kedua kalangan itu masih merupakan bagian dari dikotomi LSM CD dan LSM CO yang pada tulisan terdahulu sudah dijelaskan[1]. Dikotomi ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pendampingan dipahami sebagai suatu upaya pengembangan masyarakat secara multidimensi.
                                                             

JENIS-JENIS KEGIATAN PENDAMPINGAN
Pendampingan yang dilaksanakan oleh PL/CF meliputi banyak jenis kegiatan.  Kegiatan teknis program (misalnya pertanian) seringkali menjadi kegiatan utama seorang PPL, disertai dengan kegiatan-kegiatan lainnya (seperti pengelolaan program mulai dari perencanaan sampai monev, pengembangan organisasi masyarakat baik berupa kelompok tani, KSM/UB, sampai ke pengembangan jaringan seperti forum petani atau jaringan pemasaran, yang disertai juga dengan pelatihan kepemimpinan lokal agar mereka bisa mengelola organisasi-organisasi tersebut dengan baik). 
Dengan semakin luasnya pekerjaan seorang pendamping atau PL/CF, muncul pertanyaan: Apakah sebenarnya tugas utama seorang PL/CF? Apakah sebagai pelaksana transfer informasi dan teknologi (penyuluh) atau sekaligus sebagai ahli (expert) dalam penguasaan teknologi tertentu? Apakah hanya sebagai fasilitator masyarakat untuk bisa mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi yang tersedia, karena tugas PL lebih sebagai pembuka katup-katup hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat dan antara masyarakat dengan berbagai institusi sosial-politik? Apakah tugas PL untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan teknis, ataukah fasilitator pengembangan pembelajaran bersama yang lebih bersifat umum?  Pertanyaan-pertanyaan ini sebaiknya satu per satu dijawab untuk merumuskan apa tugas pendamping/PL/CF dan akhirnya akan diuraikan menjadi jenis-jenis kegiatan pendampingan yang akan dijalankannya.

STRATEGI PEMBERDAYAAN DALAM PENDAMPINGAN
Di kalangan lembaga pengembang program, terdapat semacam keyakinan bahwa salah satu tolok ukur keberhasilan program adalah adanya keberlanjutan setelah lembaga tidak bekerja di suatu masyarakat. Artinya, masyarakat mampu melanjutkan kegiatan setelah lembaga tidak mendampingi. Pengembangan institusi dan kepeloporan lokal biasanya sangat diperhatikan dalam rangka keberlanjutan program (dengan pemikiran bahwa lembaga tidak akan bekerja selamanya di suatu komunitas). Bentuk organisasi masyarakat tersebut antara lain: Kelompok Tani, Forum Petani, UBSP, dan Koperasi[2]. Dalam strategi “phase-out” (keluar dari sebuah komunitas), LSM sangat memperhatikan apakah organisasi lokal (kelompok dampingannya) masih tetap berjalan apabila ditinggalkan.
Kita harus bertanya secara kritis: Apa sebenarnya yang disebut dengan organisasi masyarakat (organisasi rakyat) itu? Untuk apa masyarakat berorganisasi? Cara kita memaknai hal ini, akan berpengaruh pada cara kerja kita di masyarakat: apakah organisasi masyarakat itu bisa membangun kekuatan masyarakat, atau justru memperdayakan masyarakat (yaitu mengalihkan tanggung jawab pembangunan kepada rakyat dan menjustifikasi perilaku pemerintah yang mengabaikan tanggung jawabnya)? Kalau tidak hati-hati, LSM bisa terjebak pada proses menjerumuskan masyarakat untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pengembangan partisipasi yang digunakan untuk tujuan ini berarti merupakan “mobilisasi” masyarakat agar menjadi pelaksana pembangunan. Seharusnya organisasi masyarakat yang didampingi LSM bisa menjadi model organisasi alternatif dengan kultur dan kepemimpinan demokratis yang bisa ditularkan kepada pihak lain (lembaga-lembaga lokal lainnya). Dari organisasi dampingan LSM tersebut juga dilahirkan kepeloporan lokal atau tokoh-tokoh yang bersikap kritis terhadap praktekpraktek yang tidak partisipatif dan tidak demokratis di komunitasnya. Kritis di sini bukan berarti „radikal‟ dalam pengertian konfrontatif melainkan bersikap sebagai pembaharu dengan cara-cara yang konstruktif.  Terlebih lagi apabila organisasi masyarakat diperbesar dan diperluas (misal: menjadi Forum Petani), diharapkan bisa meningkatkan daya tawar (bargaining position) masyarakat saat kepentingannya berhadapan dengan kepentingan pihak-pihak lain (terutama pemerintah dan lembaga
       Kelompok-kelompok yang didampingi LSM (kelompok tani atau lainnya), melahirkan kepeloporan lokal yang mampu mempengaruhi lembaga lain (formal maupun informal)



yang ada di komunitasnya; mereka menjadi pembaharu dan kelompok kritis;
       Kepeloporan di tingkat komunitas kemudian membentuk organisasi yang lebih besar (forum petani, serikat petani, jaringan KMPH, atau lainnya) yang melahirkan kepemimpinan dengan kemampuan untuk mengembangkan hubungan, menyuarakan kepentingan masyarakat, dan berunding dengan pihak-pihak lain (terutama pemerintah dan pengusaha/swasta). 


[1] Lihat tulisan yang berjudul “Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat”, “Pelaku dan Praktek Pengembangan Masyarakat”, dan “Paradigma dan Ideologi LSM di Indonesia”. 
[2] Organisasi masyarakat tersebut –baik yang dibentuk oleh LSM maupun yang sudah ada di masyarakat- sering disebut dengan istilah “Organisasi berbasis Masyarakat (OBM)” atau “Community-base Organization (CBO)”. Istilah lain yang popular adalah “Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)” yang diartikan sebagai organisasi pengembangan ekonomi masyarakat, biasanya berupa UBSP, UB, koperasi, dsb.