Pendampingan
Masyarakat
PENGERTIAN PENDAMPINGAN
Mengapa
istilah „pendampingan‟ muncul dalam kosakata pengembangan masyarakat? Barangkali pertanyaan ini perlu kita
lontarkan untuk mengingat kembali bagaimana proses kemunculan istilah ini
merupakan kritik terhadap cara kerja para petugas penyuluhan (extension worker) yang semata-mata hanya
melakukan kegiatan penyampaian informasi dan teknologi kepada masyarakat. Dari kritik terhadap penyuluhan konvensional
seperti ini berkembang istilah petugas penyuluh lapangan/PPL (extension field worker) dengan maksud
untuk memberi arti yang lebih luas dari sekedar penyuluhan, tetapi juga diserta
pendampingan sosial (misalnya: pendampingan dan pembentukan organisasi seperti
kelompok tani). Istilah petugas penyuluh lapangan/PPL saat ini digunakan
pemerintah untuk petugas yang bekerja sebagai penyuluhan pertanian. Pada
prakteknya, PPL pemerintah ini hanya melakukan kegiatan penyuluhan saja.
Sementara,
di kalangan LSM lebih berkembang penggunaan istilah petugas lapangan/PL (field worker) yang tugasnya jauh lebih
luas dari hanya sekedar melakukan penyuluhan teknis saja. Sejalan dengan perkembangan wacana mengenai
metodologipendekatan program, istilah petugas lapangan (PL) juga menjadi lebih
bervariasi. PL seringkali disebut sebagai pendamping masyarakat atau petugas
yang menjalankan sejumlah pekerjaan pengembangan masyarakat. PL juga seringkali disebut fasilitator
masyarakat (community facilitator/CF)
karena tugasnya lebih sebagai pendorong, penggerak, katalisator, motivator
masyarakat, sementara pelaku dan pengelola kegiatan adalah masyarakat sendiri.
Pendampingan
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh PL atau fasilitator atau pendamping
masyarakat dalam berbagai kegiatan program. Pada prakteknya, di kalangan LSM
CD, pendampingan lebih banyak ditujukan untuk pengembangan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin meskipun disertai penguatan
organisasi dan kepemimpinan lokal. Sedangkan di LSM CO, pendampingan lebih
banyak ditujukan untuk advokasi dan melakukan „perlawanan‟ masyarakat terhadap
isu-isu konflik (penggusuran tanah, pelanggaran HAM, pertambangan, lingkungan,
dsb.) yang ditujukan kepada pemerintah, industri/swasta, atau kekuatan yang
dianggap sebagai „musuh‟ rakyat.
Sebenarnya, perbedaan pendampingan kedua kalangan itu masih merupakan
bagian dari dikotomi LSM CD dan LSM CO yang pada tulisan terdahulu sudah
dijelaskan[1].
Dikotomi ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pendampingan dipahami
sebagai suatu upaya pengembangan masyarakat secara multidimensi.
JENIS-JENIS KEGIATAN PENDAMPINGAN
Pendampingan
yang dilaksanakan oleh PL/CF meliputi banyak jenis kegiatan. Kegiatan teknis program (misalnya pertanian)
seringkali menjadi kegiatan utama seorang PPL, disertai dengan
kegiatan-kegiatan lainnya (seperti pengelolaan program mulai dari perencanaan
sampai monev, pengembangan organisasi masyarakat baik berupa kelompok tani,
KSM/UB, sampai ke pengembangan jaringan seperti forum petani atau jaringan
pemasaran, yang disertai juga dengan pelatihan kepemimpinan lokal agar mereka
bisa mengelola organisasi-organisasi tersebut dengan baik).
Dengan
semakin luasnya pekerjaan seorang pendamping atau PL/CF, muncul pertanyaan:
Apakah sebenarnya tugas utama seorang PL/CF? Apakah sebagai pelaksana transfer
informasi dan teknologi (penyuluh) atau sekaligus sebagai ahli (expert) dalam penguasaan teknologi
tertentu? Apakah hanya sebagai fasilitator masyarakat untuk bisa mengakses
sumber-sumber informasi dan teknologi yang tersedia, karena tugas PL lebih
sebagai pembuka katup-katup hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat dan
antara masyarakat dengan berbagai institusi sosial-politik? Apakah tugas PL
untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan teknis, ataukah fasilitator
pengembangan pembelajaran bersama yang lebih bersifat umum? Pertanyaan-pertanyaan ini sebaiknya satu per
satu dijawab untuk merumuskan apa tugas pendamping/PL/CF dan akhirnya akan
diuraikan menjadi jenis-jenis kegiatan pendampingan yang akan dijalankannya.
STRATEGI PEMBERDAYAAN DALAM PENDAMPINGAN
Di
kalangan lembaga pengembang program, terdapat semacam keyakinan bahwa salah
satu tolok ukur keberhasilan program adalah adanya keberlanjutan setelah
lembaga tidak bekerja di suatu masyarakat. Artinya, masyarakat mampu
melanjutkan kegiatan setelah lembaga tidak mendampingi. Pengembangan institusi
dan kepeloporan lokal biasanya sangat diperhatikan dalam rangka keberlanjutan
program (dengan pemikiran bahwa lembaga tidak akan bekerja selamanya di suatu
komunitas). Bentuk organisasi masyarakat tersebut antara lain: Kelompok Tani,
Forum Petani, UBSP, dan Koperasi[2]. Dalam
strategi “phase-out” (keluar dari
sebuah komunitas), LSM sangat memperhatikan apakah organisasi lokal (kelompok
dampingannya) masih tetap berjalan apabila ditinggalkan.
Kita
harus bertanya secara kritis: Apa sebenarnya yang disebut dengan organisasi
masyarakat (organisasi rakyat) itu? Untuk apa masyarakat berorganisasi? Cara
kita memaknai hal ini, akan berpengaruh pada cara kerja kita di masyarakat:
apakah organisasi masyarakat itu bisa membangun kekuatan masyarakat, atau
justru memperdayakan masyarakat (yaitu mengalihkan tanggung jawab pembangunan
kepada rakyat dan menjustifikasi perilaku pemerintah yang mengabaikan tanggung
jawabnya)? Kalau tidak hati-hati, LSM bisa terjebak pada proses menjerumuskan
masyarakat untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Pengembangan
partisipasi yang digunakan untuk tujuan ini berarti merupakan “mobilisasi”
masyarakat agar menjadi pelaksana pembangunan. Seharusnya organisasi masyarakat
yang didampingi LSM bisa menjadi model organisasi alternatif dengan kultur dan
kepemimpinan demokratis yang bisa ditularkan kepada pihak lain (lembaga-lembaga
lokal lainnya). Dari organisasi dampingan LSM tersebut juga dilahirkan
kepeloporan lokal atau tokoh-tokoh yang bersikap kritis terhadap praktekpraktek
yang tidak partisipatif dan tidak demokratis di komunitasnya. Kritis di sini
bukan berarti „radikal‟ dalam pengertian konfrontatif melainkan bersikap
sebagai pembaharu dengan cara-cara yang konstruktif. Terlebih lagi apabila organisasi masyarakat
diperbesar dan diperluas (misal: menjadi Forum Petani), diharapkan bisa
meningkatkan daya tawar (bargaining
position) masyarakat saat kepentingannya berhadapan dengan kepentingan pihak-pihak
lain (terutama pemerintah dan lembaga
• Kelompok-kelompok
yang didampingi LSM (kelompok tani atau lainnya), melahirkan kepeloporan lokal
yang mampu mempengaruhi lembaga lain (formal maupun informal)
![]() |
yang ada di
komunitasnya; mereka menjadi pembaharu dan kelompok kritis;
• Kepeloporan di
tingkat komunitas kemudian membentuk organisasi yang lebih besar (forum petani,
serikat petani, jaringan KMPH, atau lainnya) yang melahirkan kepemimpinan
dengan kemampuan untuk mengembangkan hubungan, menyuarakan kepentingan
masyarakat, dan berunding dengan pihak-pihak lain (terutama pemerintah dan
pengusaha/swasta).
[1] Lihat
tulisan yang berjudul “Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat”, “Pelaku dan
Praktek Pengembangan Masyarakat”, dan “Paradigma dan Ideologi LSM di
Indonesia”.
[2]
Organisasi
masyarakat tersebut –baik yang dibentuk oleh LSM maupun yang sudah ada di
masyarakat- sering disebut dengan istilah “Organisasi berbasis Masyarakat
(OBM)” atau “Community-base Organization (CBO)”. Istilah lain yang popular
adalah “Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)” yang diartikan sebagai organisasi
pengembangan ekonomi masyarakat, biasanya berupa UBSP, UB, koperasi, dsb.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar