POWER EMPOWERMENT
Pemberdayaan berasal dari kata dari bahasa Inggris yaitu
empowerment. Empowerment berasal dari kata power yang artinya kuasa. Oleh sebab
itu, empowerment berarti “pemberian kekuasaan”. Dalam bahasa Indonesia,
pemberdayaan berasal dari kata daya yang berarti mampu, namun dalam konteks
ini, pemberdayaan lebih berarti mempunyai kuasa terhadap suatu hal. Hal ini
berakar dari premis bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan absolut adalah
seorang diktator. Sebaliknya, seseorang yang secara memiliki kekuasaan sangat
minim juga adalah orang yang terkorup juga. Dalam bahasa Inggris dikenal
istilah “amock” yang berarti marah secara tiba-tiba dan melakukan
perusakan secara brutal dengan alasan yang tidak bisa dicerna secara nalar
(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007: 1 – 2). Dalam pengertian konvensional,
konsep empowerment atau pemberdayaan memiliki dua pengertian. Pertama, to give
power or authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Kedua, to give ability to atau to enable
atau usaha untuk memberi kemampuan atau keberdayaan (Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto, 2007: 115).
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, pemberdayaan dapat ditinjau
dari tiga sudut pandangan. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran
kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini mendasarkan alasannya pada sifat kekuasaan
yang telah mengalienasi manusia dan telah menghilangkan eksistensi manusia
seutuhnya. Pandangan kedua adalah power to everybody atau kekuasaan harus
didistribusikan ke semua orang. Kekuasaan yang berada pada salah seorang atau
segelintir pihak cenderung disalahgunakan. Pandangan terakhir adalah memberikan
penguatan pada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan inilah
adalah pandangan yang paling moderat dibanding pandangan lainnya. Kekuasaan
yang dihancurkan adalah kemustahilan, sedangkan kekuasaan yang diberikan pada
setiap orang tentu akan menimbulkan kerusuhan dan anarki. Oleh sebab itu,
pandangan ketiga yang paling realistis yaitu power to powerless
(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007: 118 – 119).
Konsep pemberdayaan muncul karena dua premis mayor, yaitu
adanya kegagalan dan harapan. Kegagalan dalam hal ini berarti gagalnya
pembangunan, khususnya di negara-negara dunia ketiga, untuk memecahkan
permasalahan kemiskinan dan lingkungan. Malahan, pembangunan yang selama ini
terjadi dituding telah memperparah kondisi yang ada dengan tingkat kemiskinan
dan kerusakan lingkungan yang semakin meninggi. Pada saat yang sama, muncul
harapan karena hadirnya alternatif-aternatif pembangunan yang memasukan
nilai-nilai demokrasi, kesadaran ekologi, gender, persamaan hak, dan konsep
pembangunan yang berkelanjutan. Kegagalan dan harapan adalah cermin dari nilai
moral dan nilai-nilai normatif. Gejala dan harapan sangat dirasakan pada
tingkat individu dan masyarakat. Oleh sebab itu, seperti kata John Friedmann,
pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya adalah nilai kolektif pemberdayaan
individual (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007: 59).
Kelahiran konsep pemberdayaan masyarakat seringkali dikaitkan
dengan gugatan terhadap kegagalan-kegagalan pembangunan khususnya di negara
dunia ketiga. Selain itu, perkembangan pemberdayaan masyarakat sering dikaitkan
dengan LSM atau organisasi non pemerintah dan organisasi-organisasi sosial.
Namun sebenarnya, di Indonesia cikal bakal kelahiran LSM atau organisasi non
pemerintah telah lahir pada masa kolonialisme. Tahun 1890 misalnya ada Mardi
Karya, sebuah organisasi yang dibentuk oleh Suryopranoto yang berkecimpung
dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat di sektor ekonomi, sosial, maupun
politik. Lahirnya Budi Utomo juga memiliki karakter yang sama dengan LSM
atau organisasi non pemerintah saat ini. Dua contoh lembaga ini tidak
berorientasi pada keuntungan, namun kerja-kerja yang dilakukan semata-mata
untuk kesejahteraan masyarkat. Harus diakui memang, karakter organisasi yang
lahir pada masa kolonialisme dengan masa kemerdekaan memang berbeda, namun
kesamaannya adalah spirit bekerja untuk masyarakat tetap ada (Nainggolan, 2004:
107).
Pemberdayaan masyarakat mendapat tempat dalam penerapan
pembangunan karena sejatinya pembangunan berarti “perbaikan masyarakat”.
Unruk itu, pembangunan yang benar adalah dikerjakan oleh masyarakat dan bukan
dikerjakan untuk masyarakat. Pembangunan bisa dikoordinir oleh pemerintah dan
agen-agen pemberi bantuan resmi dengan segala kelengkapan mreka seperti
kelembagaan, infrastruktur, pelayanan, dan dukungan. Namun pembangunan harus
dicapai oleh masyarakat itu sendiri. Pembangunan bukan berupa komoditas yang
bisa ditimbang dann diukur dengan angka statistik GNP. Pembangunan merupakan
proses perubahan yang membuat masyarakat terlibat, bertanggung jawab, dan
menyadarai potensi yang mereka miliki (Clark, 1995: 29).
Penerapan pemberdayaan masyarakat paling banyak digunakan di
sektor ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Empat
jalur strategis yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu perluasan
kesempatan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan perlindungan
sosial. Perluasan kesempatan ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan
ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin memperoleh
kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan peningkatan taraf
hdiup secara berkelanjutan. Penguatan kelembagaan untuk menjamin semua
masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik yang
menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar secara berkelanjutan.
Penguatan kapasitas ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berusaha agar dapat
memanfaatkan potensi yang ada di sekitar. Terakhir, perlindungan sosial ditujukan
khususnya pada kelompok-kelompok yang rentan (anak-anak, perempuan, orang tua,
orang berkebutuhan khusus, dll) dan ditujukan pada masyarakat yang baru terkena
bencana alam, resesi ekonomi, dan konflik sosial (Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto, 2007: 33 – 34). Atau pada kondisi yang umum, pemberdayaan
masyarakat harus meliputi enabling (menciptakan suasana kondusif), empowering
(penguatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat), protecting (perlindungan dan
keadilan), supporting (bimbingan dan dukungan), foresting (memelihara kondusi
yang kondusif tetap seimbang) (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007: 117).
Pemberdayaan masyarakat jika dipilah berdasarkan pada
tingkatan apa bekerjanya, maka akan diperoleh tiga tingkatan. Tingkatan
pertama, pemberdayaan masyarakat berkutat di “ranting dan daun” atau
pemberdayaan konformis. Pada tingkatan ini, pemberdayaan masyarakat lebih
bersifat karikatif dan sinterklas, bentuknya adalah memberikan bantuan dalam
bentuk modal maupun sudsidi. Struktur sosial, politik, dan ekonomi dilihat
sebagai sesuatu yang sudah ada. Tingkatan kedua berada pada “batang” atau
pemberdayaan reformis. Pada tingkatan ini melihat akar permasalahan ada pada
implementasi di lapangan dan operasionalisasi dari kebijakan. Struktur sosial,
politik, dan ekonomi tidak dianggap masalah. Sedangkan, tingkatan terakhir
terletak pada level “akar” atau pemberdayaan struktural. Masalah utama bagi
tingkatan ini terletak pada struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang
menyebabkan pihak yang lemaha semakin melemah. Oleh sebab itu, tingkatan ini
beranggapan harus dilakukan transformasi struktural. Penilaian secara umum,
pemberdayaan yang banyak terjadi adalah pemberdayaan konformis, tingkat
pertama. Sedikit yang menyentuh pada tingkatan kedua. (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto,
2007: 119 – 121).
Berdasarkan tiga tipe di atas, pemberdayaan masyarakat
misalnya di bidang ekonomi rakyat cenderung berada pada tipe reformis. Pijakan
tipe reformis ini adalah developmentalis dengan ideologi modernisasi. Perbaikan
kemiskinan diselesaikan misalnya dengan penyelenggaran pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas, membangun komunitas perekonomian rakyat, pendampingan,
dan perbaikan etos kerja (Nainggolan, 2004: 109).
Pemberdayaan masyarakat memiliki tiga sisi yaitu penyadaran,
pembangunan kapasitas, dan pendayaan. Pada sisi pertama, penyadaran, target
masyarakat diberikan pemahaman-pemahan tentang hak-hak yang seharusya dimiliki.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahapan ini adalah memberikan pengetahuan
yang bersifat kognisi, kepercayaan, dan penyembuhan. Sisi kedua adalah
peningkatan kapasitas atau memberikan kemampuan. Peningkatan kapasitas terdiri
dari tiga jenis yaitu manusia, organisasi, dan sistem nilai. Sisi terakhir
adalah pendayaan. Memberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang
(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007: 3 – 6).
Pemberdayaan masyarakat telah menjalan dan melebar
kemana-kemana dari dunia akademisi sampai para praktisi pembangunan, serta
diyakini membawa perubahan yang cukup berarti di masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
yang menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan memiliki berbagai
strategi, pendekatan, dan metode. PRA misalnya sebagai sebuah metode,
menempatkan masyarakat sebagai subyek yang mengenal potensi dirinya dan mampu
melakukan perubahan (Chambers, 1996: 19). Selain itu, pemberdayaan masyarakat
sejalan, senafas, dan saling mengisi dengan konsep pendidikan kritis yang
dikembangkan Paulo Freire. Pendidikan kritis digunakan sebagai dasar paradigma
dan metode untuk melakukan berbagai macam pendidikan dan pelatihan bagi
masyarakat. Pendidikan kritis di sini diletakkan sebagai bagian strategi untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat (Topatimasang, 2007: 31).
http://ketutsutawijaya.wordpress.com/2009/06/13/pemberdayaan-masyarakat/
apa judul bukunya ini mas
BalasHapus